MAKALAH
APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DENGAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Secara dimensional, sampai saat ini antariksa masih belum dapat diukur oleh peralatann canggih maupun teknologi modern. Hal ini menunjukkan bahwa semua yang ada di muka bumi ini masih memiliki keterbatasan. Pemanfaatan satelit sebagai teknologi modern saat ini masih belum maksimal untuk mengatasi permasalahan yang ada di muka bumi ini. Akan tetapi teknologi penginnderaan jauh (remote sensinh) , telah mampu merubah paradigm visualisasi permukaan bumi kita dari fiksi ilmiah menjadi bukti ilmiah. Hasil dan produk dari teknologi penginderaan jauh memiliki manfaat yang sangat berguna dalam berbagai bidang yang berkaitan dnegan manajemen pemanfaatan bumi dan permukaanya.
Sudah sejak lama foto udara digunakan untuk memotret perairan dangkal yang jernih. Saat ini telah bayak dikembangkan foto udara untuk mendeteksi kedalaman air dengan cara yang sama menggunakan citra satelit. Citra satelit menggunakan sistem panjang gelombang dan kecerahan perairan untuk dapat mendeteksi kedalaman kedalaman maksimum perairan. Produk dalam teknologi penginderaan jauh yang sangat luar biasa saat ini adalah berupa citra satelit dengan resolusi spaaial yang tinggi. Sehingga dapat memberikan data gambaran visual permukaan bumi secara detail.
Menurut Sutanto (1994) dalam Hartono et al., (2013) ada beberapa alasan yang mendasari penggunaan citra penginderaan jauh seperti foto udara untuk berbagai penelitian, diantaranya adalah: (a) letak dan gambaran obyek dari citra satelit penginderaan jauh memiliki kenampakan yang sama atau sangat mirip dengan aslinya di permukaan bumi, (b) ada beberapa jenis citra satelit tertentu yang dapat digambarkan secara 3 dimensi melalui alat steroskop, (c) karakteristik obyek yang tidak tampak dapat diwujudkan dalam bentuk citra, sehingga memungkinkan untuk pengenalan obyeknya, (d) citra dapat dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi secara terrestrial, (e) dapat digunakna untuk pemetaan daerah bencana, dan (f) citra sering dibuat dengan periode ulang dan pendek.
Setiap citra satelit yang dikembangkan memiliki kemampuan yang berbeda sesuai dengan resolusinya masing-masing. Resolusi merupakan kemampuan sistem optik-elektronik untuk dapat membedakan informasi yang berdekatan secara spasial dan memiliki kemiripan secara spektral. Dalam bidang pemetaan memiliki empat konsep penting meliputi resolusi spektral , resolusi radiometrik dan resolusi temporal
Quickbird merupakan citra satelit buatan Amerika yang digunakan untuk keperluan penginderaan jarak jauh yang berwujud gambaran secara visual mengenai obyek diatas muka bumi. Gambaran ini meliputi bangunan gedung, jalan, sungai, saluran, maupun vegetasi berupa hutan, ladang, sawah dan sebagainya sehingga sering disebut foto satelit. Karena kemampuannya dalam merekam kenampakan permukaan bumi, Citra Satelit Quickbird sering dimanfaatkan untuk keperluan perencanaan prasarana fisik di kota maupun di daerah.
Bagian-bagian dari Citra Satelit Quickbird
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Maha siswa dapat mengetahui apa yang dimaksud penginderaan jauh
2. Mahasiswa mampu mengetahui pemrosesan citra satelit Quickbird
3. Mahasiswa dapat mengetahui penyebaran hutan mangrove.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, yaitu diperkirakan sepanjang 81.000 km (Dahuri, et al., 1996). Pada garis pantai sepanjang itu terkandung potensi sumberdaya alam wilayah pesisir yang jumlahnya cukup besar. Salah satu sumberdaya pesisir di Indonesia adalah ekosistem hutan mangrove. Hutan mangrove memiliki berbagai fungsi ekologi, ekonomi dan sosial. Secara ekologis hutan mangrove berfungsi sebagai feeding ground, spawning grounds, dan nursery ground. Secara ekonomi hutan mangrove dapat dimanfaatkan kayunya untuk bahan bangunan dan arang, dikembangkan untuk lahan pertambakan dan pertanian, serta daerah ekowisata (eco-tourism). Luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta ha atau 3,98% dari seluruh hutan Indonesia (Nontji, 1987). Pada tahun 1993 Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan (INTAG) memperkirakan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia tinggal 3,73 juta ha. Taman Nasional Laut Karimunjawa merupakan kawasan konservasi yang memiliki ekosistem mangrove. Meskipun Karimunjawa merupakan taman nasional tetapi tetap terjadi kerusakan dan degdradasi hutan mangrove. Kerusakan hutan mangrove ini diakibatkan oleh pembukaan lahan tambak dan pemanfaatan kayu hutan mangrove oleh masyarakat setempat. Untuk mencegah dan menaggulangi kerusakan hutan mangrove diperlukan inventarisasi tentang distribusi, luas dan kerapatan magrove. Inventarisasi ini 2 berguna untuk pengelolaan dan penetapan kebijakan pada ekosistem mangrove dan daerah pesisir. Dalam melakukan pemantauan dan inventarisasi mangrove tidaklah mudah. Kesulitan pemetaan di lapangan merupakan kendala kelangkaan data mangrove. Sebagai alternatifnya dikembangkan teknik penginderaan jauh. Teknik ini memiliki jangkauan yang luas dan dapat memetakan daerah-daerah yang sulit dijangkau dengan perjalanan darat. Salah satu data penginderaan jauh yang dapat dimanfaatkan untuk memantau hutan mangrove adalah citra Satelit QuickBird. Citra ini memiliki lebar sapuan 16,5 x 16,5 km 2 dengan resolusi spasial 2,44 m untuk sensor multispectral. Pengamatan hutan mangrove dengan citra satelit meliputi distribusi, luasan, dan kerapatan
2.2 Penyebaran dan Luas Hutan Mangrove
Menurut Nybakken (1988), komunitas hutan mangrove tersebar di seluruh hutan tropis dan subtropis, mulai dari 25 0 Lintang Utara sampai 250 Lintang Selatan. Mangrove mampu tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari 4 gerakan gelombang, bila pantai dalam keadaan sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menjatuhkan akarnya. Tumbuhan ini dapat tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur dan lingkungan yang anaerob. Mangrove juga dapat tumbuh pada substrat pasir, batu atau karang yang terlindung dari gelombang, karena itu mangrove banyak ditemukan pada pantai-pantai teluk, estuari, lagun dan pantai terbuka yang berhadapan dengan terumbu karang yang memecah gelombang datang. Luas hutan mangrove di seluruh wilayah Indonesia diperkirakan kurang lebih 3,7 juta ha (Direktorat Bina Program, 1982 in Kusmana, 1995). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh FAO/UNDP (1982) in JICA (1998), total areal mangrove di Indonesia adalah 4,25 juta ha. Menurut Nontji (1987) luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta ha atau 3,98% dari seluruh luas hutan Indonesia. Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang termasuk tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis; 35 jenis berupa pohon, dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), epifit (29 jenis) dan parasit (2 jenis) (Nontji, 1987). Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting atau dominan yang termasuk dalam empat famili Rhizophoraceae, Sonneratiaceae, Avicenniaceae, dan Meliaceae. Areal hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di Pesisir Timur Sumatera, Pesisir Kalimantan dan Pesisir Selatan Irian Jaya. Hutan mangrove di Jawa banyak yang telah mengalami kerusakan atau telah hilang sama sekali karena aktivitas manusia. 5 Menurut Kusmana (1995) terjadinya proses pengurangan lahan mangrove di beberapa propinsi disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini : 1. Konversi hutan mangrove menjadi bentuk lahan penggunaan lain seperti pemukiman, pertanian, industri, pertambangan dan lain-lain 2. Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahaanperusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) serta penebangan liar dan bentuk perambahan hutan lainnya 3. Polusi di perairan estuaria, pantai dan lokasi-lokasi perairan lainnya tempat tumbuhnya mangrove 4. Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses abrasi atau sedimentasi yang tidak terkendali.
2.3 Fungsi Hutan Mangrove
Menurut Soegiarto (1982) manfaat hutan mangrove yang tidak langsung adalah :
1. Sebagai pelindung pantai
2. Sebagai pengendali banjir
3. Sebagai pengendali bahan pencemar, dan
4. Sebagai sumber energi atau bahan organik bagi lingkungan sekitarnya
Manfaat hutan mangrove secara langsung adalah berupa kayu, bahan baku chips, pulp dan tanin. Mangrove juga memiliki peranan sebagai daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makan (feeding grounds) dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan ,udang dan biota laut lainnya. Disamping itu mangrove juga dapat dijadikan tempat pariwisata.
2.4 Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Mangrove
Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer, 1990). Menurut Lo (1996), aplikasi baru dari penginderaan jauh multispektral telah menitikberatkan pada estimasi jumlah dan distribusi vegetasi. Estimasi didasarkan pada pantulan dari kanopi vegetasi. Intensitas pantulan tergantung pada panjang gelombang yang digunakan dan tiga komponen vegetasi, yaitu daun, substrat dan bayangan. Daun memantulkan lemah pada panjang gelombang biru dan merah, namun memantulkan kuat pada panjang gelombang inframerah dekat (Gambar 1). Daun memiliki karakteristik warna hijau, dimana klorofil mengabsorbsi spektrum radiasi merah dan biru serta memantulkan spektrum radiasi hijau.
Gambar 1. Sifat dan pantulan komponen vegetasi
Menurut Susilo (2000) penginderaan jauh untuk vegetasi mangrove didasarkan atas dua sifat penting yaitu bahwa mangrove mempunyai zat hijau daun (klorofil) dan mangrove tumbuh di pesisir. Dua hal ini akan menjadi pertimbangan penting di dalam mendeteksi mangrove melalui satelit. Sifat optik klorofil sangat khas yaitu bahwa klorofil menyerap spektrum sinar merah dan memantulkan dengan kuat spektrum inframerah.
Klorofil fitoplankton yang berada di air laut dapat dibedakan dari klorofil mangrove karena sifat air yang sangat menyerap spektrum inframerah. Tanah, pasir dan batuan juga memantulkan infra merah tetapi bahan-bahan ini tidak menyerap spektrum sinar merah sehingga tanah dan mangrove secara optik juga dapat dibedakan.
Beberapa aspek lingkungan mangrove yang dapat dipelajari dengan menggunakan penginderaan jauh adalah spesies mangrove dan identifikasi zonasi, perubahan tata guna lahan mangrove, keberadaan mangrove dan distribusinya, serta lingkungan fisik mangrove (Hartono, 1994).
Chaudhury (1985) manjelaskan bahwa informasi lebih lanjut yang dapat diperoleh dari penginderaan jauh untuk studi ekosistem mangrove adalah :
1. Identifikasi dan kuantifikasi hutan mangrove
2. Identifikasi dan kenampakan zona (tipe-tipe vegetasi) di daerah mangrove
3. Identifikasi keberadaan dan profil dataran berlumpur
4. Monitoring proses-proses dinamis (akresi, erosi) di lingkungan mangrove
5. Monitoring sedimentasi laut lepas, ekspor bahan organik dan sistem aliran
6. Identifikasi tipe-tipe tanah 8
7. Monitoring karakteristik air (contoh : salinitas, turbiditas) di dearah mangrove
8. Monitoring tata guna lahan mangrove (contoh : akuakultur, kehutanan)
9. Monitoring perubahan aktivitas penggunaan lahan di daerah mangrove
2.5 Citra Satelit Quickbird
Quickbird merupakan satelit penginderaan jauh yang diluncurkan pada tanggal 18 Oktober 2001 di California, U.S.A. Dan mulai memproduksi data pada bulan Mei 2002. Satelit Quickbird ditempatkan pada ketinggian 450 km di atas permukaan bumi dengan tipe orbit sun-synchronous dan misi pertama kali satelit ini adalah menampilkan citra dijital resolusi tinggi untuk kebutuhan komersil yang berisi informasi geografi seperti sumber daya alam, resolusi citra yang dihasilkan sebesar 0.61 m untuk panchromatik dan 2.44 m untuk multispektral (R,G,B, NIR) dengan cakupan area seluas 16.5 km x 16.5 km untuk single area.
Citra Quickbird dapat digunakan untuk berbagai aplikasi terutama dalam hal perolehan data yang memuat infrastruktur, sumber daya alam bahkan untuk keperluan pengelolaan tanah (manajemen dan pajak).
Citra Quickbird dapat digunakan untuk berbagai aplikasi terutama dalam hal perolehan data yang memuat infrastruktur, sumber daya alam bahkan untuk keperluan pengelolaan tanah (manajemen dan pajak).
2.6 Sejarah
DigitalGlobe didirikan pada tahun 1992 dengan nama WorldView Imaging Corporation, yang kemudian berubah menjadiEarthwatch didirikan pertama kali pada tahun 1995, sebelum akhirnya berubah menjadi DigitalGlobe pada tahun 2002. Pada tahun 1993, Departemen.
Perdagangan Amerika Serikat memberikan DigitalGlobe ( kemudian WorldView ), lisensi pertama kaliyang memungkinkan perusahaan swasta untuk turut membangun dan mengoperasikan sistem satelit untuk mengumpulkan citradigital resolusi tinggi bumi untuk kepentingan penjualan komersial.
Pada bulan Januari 1994, perusahaan ini bergabung dengan the commercial remote sensing efforts of Ball Aerospace (beroperasi di bawah naungan nama Earthwatch ). Ball membawa pengalaman teknologi dan optik yang sangat maju secara signifikan dalam pembuatan satelit dan bertanggung jawab sepenuhnya untuk desain dan konstruksi dari QuickBird satelit sub-meter. Selain Ball
Aerospace, DigitalGlobe menjalin kontrak kerjasama dengan Eastman Kodak Company dan Fokker Ruang BVuntuk desain, pengembangan dan pembuatan QuickBird.
Gambar 2. Pembuatan satelit quickbird
2.7 Pemrosesan data Citra Satelit
Citra QuickBird diproses dengan menggunakan software ER Mapper 5.5 dan Arc View 3.1, sedangkan analisis visual dilakukan berdasarkan hasil identifikasi objek. Beberapa tahap yang akan dilakukan dalam pengolahan citra antara lain : pemulihan citra, penajaman citra dan klasifikasi citra. Dari tahapan inilah informasi mengenai kerapatan dan distribusi mangrove didapatkan.
Gambar 3. Pemrosesan data satelit
2.7.1 Pemulihan Citra
Pemulihan citra dilakukan dengan tujuan untuk memulihkan data citra yang mengalami distorsi ke arah gambaran yang tidak sesuai dengan keadaan aslinya. Proses pemulihan citra ini terdiri dari koreksi geometrik dan koreksi radiometrik.
Distorsi geometrik terjadi karena adanya pergeseran piksel dari letak yang sebenarnya. Distorsi tersebut disebabkan oleh kurang sempurnanya sistem kerja Scan Deflection System dan ketidakstabilan sensor atau satelit, dimana untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan koreksi geometrik yang melalui dua tahap, yaitu : transformasi koordinat dan resampling.
Transformasi koordinat dilakukan dengan menggunakan Ground Control Point atau disebut juga GCP. GCP (titik kontrol tanah) adalah suatu kenampakan geofrafis yang unik dan stabil sifat geometrik dan radiometriknya serta lokasinya dapat diketahui dengan tepat, misalnya : persimpangan jalan, sudut dari suatu bangunan ataupun tambak dan sebagainya.
GCP yang telah ditentukan ditempatkan pada citra dan pada peta topografi dengan tingkat akurasi satu pixel. Penempatan GCP yang benar akan menghasilkan matriks transformasi hubungan titik-titik pada citra dan sistem proyeksi yang terpilih. Pada tahap ini titik persamaan pada citra (u,v) ditransformasikan ke dalam koordinat peta (x,y) dengan menggunakan fungsi pemetaan (f dan g), seperti yang dijelaskan pada persamaan dibawah ini :
u = f (x,y)
v = g (u,v)
Proses penerapan alih ragam geometrik terhadap data asli disebut resampling. Dalam melakukan resampling dapat dilakukan dengan tiga teknik, yaitu : nearest neighbour, bilenier dan cubic convolution.
Pengaruh atmosfer (penghamburan dan penyerapan), noise pada waktu transmisi data, perubahan cahaya, radiasi dan buramnya bagian optik pada sistem pencitraan dapat menyebabkan distorsi radiomertik. Koreksi radiometrik biasanya dilakukan pada kanal visible (ë= 0,4 – 0,7 µm), sedangkan kanal inframerah (ë= > 0,7) sebagian besar bebas dari pengaruhnya.
Koreksi radiometrik dilakukan dengan metode penyesuaian histogram (histogram adjusment), yaitu dengan mengurangi nilai kanal terdistorsi ke arah kiri sehingga nilai minimumnya menjadi nol.
2.7.2 Penajaman Citra
Penajaman citra digunakan untuk memperjelas penampakan objek yang terdapat pada citra sehingga dapat diperoleh citra yang informatif. Tujuan dari penajaman citra adalah untuk mempertajam interpretabilitas visual citra, baik untuk memperoleh keindahan gambar atau untuk analisis citra.
Penajaman ini dilakukan sebelum menampilkan citra dengan tujuan meningkatkan informasi yang dapat diinterpretasi secara digital. Prosesnya melibatkan penajaman kontras yang tampak pada wujud gambaran yang terekam pada citra, sehingga dapat memperbaiki kenampakan citra dan meningkatkan perbedaan yang ada di antara objek yang ada dalam citra.
Ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam penajaman citra khususnya untuk kerapatan dan distribusi mangrove. Salah satu tekniknya dengan False Colour Composit (FCC) yang merupakan penajaman dengan menggabungkan tiga warna primer, yaitu merah (red), hijau (green) dan biru (blue).
2.7.3 Klasifikasi Citra
Klasifikasi bertujuan untuk mengelompokan kenampakan yang homogen. Klasifikasi merupakan proses pengelompokan piksel-piksel ke dalam suatu kelas 25 atau kategori berdasarkan kesamaan nilai spektral tiap piksel. Nilai spektral merupakan gambaran sifat dasar interaksi antara objek dengan spektrum yang bekerja.
Ada dua proses klasifikasi, yaitu : klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification). Pada penelitian ini digunakan supervised classification karena didukung dengan data lapangan.
Klasifikasi terbimbing bertujuan mengelompokkan secara otomatis kategori semua nilai piksel dalam citra menjadi beberapa kelas didasarkan pada daerah contoh (training area). Daerah contoh pada citra didapatkan dari peta acuan, data sekunder dan data lapangan. Pengkelasan piksel pada supervised classification didasarkan pada kemiripan maksimum piksel dengan sekelompok piksel lainnya dalam citra. Pengkelasan ini dikenal dengan metode kemiripan maksimum (maximum likelihood).
Dengan metode maximum likelihood piksel yang belum diketahui identitasnya dikelompokkan berdasar vektor dan matriks kovarian dari setiap pola spektral kelas. Nilai peluang piksel yang belum teridentifikasi akan dihitung oleh komputer dan dimasukkan ke dalam salah satu kelas yang peluangnya paling tinggi.
Dari hasil klasifikasi dengan menggunakan supervised classification selanjutnya dilakukan pengkelasan kembali atau pengkelasan ulang (reclass) dengan berdasarkan pada peta dan data pendukung. Pengkelasan ulang ini bertujuan untuk mendapatkan citra yang lebih informatif mengenai daerah.
2.8 Permodelan Citra Satelit Quickbird
Citra Quickbird dikelola oleh Digital Globe yang merupakan citra digital hasil penginderaan sensor satelit Quickbird. Satelit ini pertama kali dimunculkan pada tanggal 18 Oktober 2001 di Pangkalan Angkatan Udara Vandenber, California, sebagai satelit dengan resolusi spasial yang tinggi. Pada ketinggian 450 km dari permukaan bumi, Citra Satelit Quickbird mengorbit bumi secara sun-synchronousdengan sudut inklinasi sebesar 97,2°. Sistem lintas orbit pada Citra Satelit Quickbird tergolong cepat dengan kecepatan 7,1 km/detik dan dapat mengorbit bumi selama 93,5 menit dalam sekali lintasan. Satelit Quickbird akan melintasi daerah equator pada pukul sekitar 10.30 pagi dan dapat merekam seluruh daerah yang dilintasinya secara tetap.
Gambar 4. Spesifikasi dari Citra Satelit Quickbird
Citra satelit Quickbird memiliki resolusi yang tinggi untuk kebutuhan komersil yang dapat memberikan informasi geografi seperti potensi dan luasan sumberdaya alam. Quickbird memiliki kemampuan untuk memperoleh data tutupan lahan atau kebutuhan lain untuk keperluan GIS berdasarkan kemampuan Quickbird dalam menyimpan data dalam ukuran besar dengan resolusi tertinggi dan medium-inclination, non-polar orbit. Satelit ini mampu men-download citra dari stasiunthree mid-latitude yaitu Jepang, Itali dan U.S (Colorado).
Citra satelit Quickbird memiliki 11 bit per pixel (2048 gray scale) , sehingga citra satelit Quickbird dapat memberikan kualitas citra yang lebih baik karena gradasi keabuan mengalami peningkatan 8 kali dibandingkan tipe 8 bit (256gray scale) pada beberapa satelit yang pernah diluncurkan sebelumnya. Satelit Quickbird ini mengorbit bumi secara polar.
2.9 Citra Warna dari Satelit Quickbird
Sistem warna pada satelit Quickbird memiliki lima pilihan produk. Produk warna yang dihasilkan oleh satelit Quickbird ini meliputi : (a) hitam-putih (pankromatik) yang memiliki ketajaman yang tinggi sehingga memungkinkan untuk dpat dianalisis secara visual, (b) multispektral, meliputi panjang gelombang tampak dan inframerah dekat sehingga sangat ideal untuk analisis multispektral , (c) bundle, merupakan produk warna yang menghasilkan kombinasi dari hitam-putih dan multispektral, (d) berwarna, mengkombinasikan informasi visual dari tiga saluran (band) multispektral dengan informasi spaial dari saluran pankromatik, dan (e) pan-sharpened (fusi), yang mengkombinasikan informasi visual dari semua saluran (4 band) multispektral dengan informasi spasial dari saluran pankromatik .
Citra satelit Quickbird memiliki tingkatan pada produk yang dihasilkannya, yakni : basic, standard, dan orthorectified. Pada tingkatan basic, citra telah terkoreksi secara radiometric dari pengaruh gerakan sensor tetapi tidak terkoreksi secara geometris ataupun terpetakan dalam ellipsoid dan proyeksi kartografis. Citra basic hitam putih memiliki resolusi sebesar 61 cm hingga 72 cm pada sudut 25° off-nadir. Resolusi mencapai 1,14 m pada sudut nadir maksimum (45°). Sedangkan resolusi citra multispektralnya berkisar pada 2,44 m (nadir) hingga 2,88 m (25° off-nadir) dan mencapai 4,56 m pada 45° off-nadir. Pada format yang telah difusikan, citra tingkatan basic tidak tersedia.
Pada citra dengan tingkatan diatas basic atau lebih dikenal dengan citra dengan tingkatan standard adalah citra yang telah terkoneksi secara radiometris, terkoreksi terhadap gerkan sensor, terkoreksi geometris dan sudah terpetakan dalam proyeksi kartografis. Citra dengan tingkatan standard telah tersedia dalm format hitam-putih, berwarna, dan pan-sharpened dengan resolusi 60 cm hingga 70 cm atau multispektral dengan resolusi 2,4 meter atau 2,8 meter. Pada citra tingkatan standard ini telah memiliki Digital Elevation Model (DEM) yang secara luas telah teraplikasi. DEM berfungsi untuk menormalkan dari pengaruh relief topografi dengan memperhatikan elipsoid referensi. Citra Quickbird pada tingkatan ini memiliki akurasi geolokasi absolute rata-rata sebesar 23 m pada tingkat kepercayaan 90 %, tidak termasuk pergeseran topografis dan penglihatan di luar nadir (off-nadir viewing).
Citra Quickbird orthorectifed merupakan tingkatan pada citra satelit yang telah dikoreksi radiometric, sensor dan geometris, serta telah diproses ortorektifikasi dan terpetakan pada datum dan proyeksi kartografis. Citra dengan tingkatanorthorectified memiliki resolusi 60 cm – 70 cm pada format hitam putih, berwaran dan fusi. Sedangkan pada format multipektral memiliki resolusi 2,4 meter atau 2,8 meter. Untuk menghilangkan pengaruh pergeseran relief dan untuk menempatkan piksel pada lokasi peta yang benar, citra orthorectified membutuhkan DEM atau titik control bumi. Citra orthorectified dapat digunakan untuk keperluan pembentukan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan banyak digunakan sebagai peta citra dasar untuk berbagai macam keperluan.
Gambar 5. Pewarnaan hasil dari citra
2.10 Sistem Penggerak Citra Satelit Quickbird
Sistem penggerak pada beberapa citra satelit dibedakan menjadi dua, yakni sistem penggearak pasif dan sistem penggerak aktif. Citra satelit Quickbird termasuk kedalam contoh citra satelit dengan sistem penggerak pasif karena memanfaatkan energi matahari untuk penggeraknya. Sistem penginderaan pasif memanfaatkan energi cahaya matahari yang dipantulkan benda-benda yang ada dipermukaan bumi. Pantulan ini akan diterima sensor yang terdapat pada satelit. Sehingga ada tiga komponen pada sistem penggerak pasif ini antara lain : (a) energi cahaya matahari, (b) pemantulan cahaya matahari oleh benda-benda yang ada dipermukaan bumi, dan (c) sensor satelit sebagai penerima pantulan cahaya dari benda-benda di muka bumi. Tanpa adanya ketiga komponen ini maka sistem penggerak pasif tidak akan berjalan. Oleh karenanya sistem penginderan jauh dengan sistem penggerak pasif seperti ini hanya dapat bekerja pada siang siang hari di bagian bumi yang mendapat pancaran matahari. Satelit-satelit dengan sistem penggerak pasif dirancang untuk berada pada posisi yang selaras dengan matahari (sub-synchronous) yang berarti satelit-satelit ini berada pada sudut inklanasi sekitar 95-100 derajat terhadap ekuator kea rah kutub utara bumi . hal ini bertujuan supaya satelit berada pada posisi yang terkena pancaran cahaya matahari untuk memperoleh citra penginderaan yang maksimum. Sistem penggerak pasif pada satelit ini bekerja dengan menggunakan prinsip-prinsip optis sehingga sangat bergantung pada energi matahari.
Gambar 6. Sistem control pada satelit dengan penggerak pasif
2.11 Kelebihan Citra Satelit Quickbird
Ada beberapa kelebihan yang dimiliki citra satelit Quickbird dibandingkan dengan citra satelit yang lain. Kelebihan ini terletak pada beberapa pilihan produk yang disesuaikan dengan kebutuhan pemakai dan resolusi spasialnya. Seperti kemampuannya mendeteksi obyek dengan ukuran terkecil 0,61 cm. Sehingga obyek seperti kendaraan akan tampak jelas bentuk dan ukurannya dibandingkan dengan citra yang memiliki resolusi spasial 1 m. kemampuaanya juga ditunjukkan dalam membedakan fungsi bangunan seperti pemukiman pola teratur dengan kepadatan rendah, pertokoam, mall, mesjid, pasar dan sebagainya dalam hal penggunaan lahan. Oleh karenanya, citra satelit Quickbird banyak dimanfaatkan dalam berbagai tema penelitian khususnya kajian yang memanfaatkan ruang seperti perencanaan kota, penentuan niali jual obyek pajak, mendeteksi perubahan penggunaan dan penutupan lahan, perencanaan jalan baru dan lain sebagainya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimmpulan yang dapat kita ambil dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek
2. Citra QuickBird diproses dengan menggunakan software ER Mapper 5.5 dan Arc View 3.1, sedangkan analisis visual dilakukan berdasarkan hasil identifikasi objek.
3. Menurut Nybakken (1988), komunitas hutan mangrove tersebar di seluruh hutan tropis dan subtropis, mulai dari 25 0 Lintang Utara sampai 250 Lintang Selatan.
Daftar Pustaka
Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ). 2002. Inventarisasi dan Penyebaran Mangrove di Taman Nasional Karimunjawa. BTNKJ. Semarang.
Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2004. Kawasan Taman Nasional Laut Karimunjawa. http://mofrinet.cbn.net.id/informasi/tamnas/karim_1.html
Carolita, I., I Made P., Y. Erowati, dan Asikin A. 1995. Monitoring Keadaan Hutan dengan Menggunakan Data NOAA AVHRR di Daerah Kalimantan Barat dan Sebagian Kalimantan Timur. Warta LAPAN volume 43 Hal 32-42. Jakarta.
Chaudhury, M. U. 1985. LANDSAT : Application to Mangrove Ecosystem Studies. UNDP/ESCAP Regional Remote Sensing Programme and SEAMEO-BIOTROP. Bogor. Hal 57-63.
Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting, dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dewanti, R. 1999. Kondisi Hutan Mangrove di Kalimantan Timur, Sumatra, Jawa, Bali dan Maluku. Majalah LAPAN edisi Penginderaan Jauh No.01 Vol. 01. LAPAN. Jakarta.
Dirgahayu, D., M. Kusumowidagdo, E. D. Djaiz, dan I Made P. 1992. Metode Penentuan Potensi Hutan dengan Menggunakan Data Satelit Penginderaan Jauh. (Prosiding Hasil-hasil Penelitian Proyek Pemanfaatan Satelit Lingkungan dan Cuaca). Pusfatja-LAPAN. Jakarta.Hal 16-25.
English, S., C. Wilkinson dan V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institut of Marine Science.
Fanani, Z. 1992. Pengantar Interpretasi Data Penginderaan Jauh. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Green, E.P., P.J. Mumby, A.J. Edwards, dan C.D. Clark. 2000. Remote Sensing Handbook for Tropical Coastal Management. Coastal Management Sourcebook 3, UNESCO. Paris.
No comments:
Post a Comment