MAKALAH
APLIKASI
PENGINDERAAN JAUH DENGAN
CITRA SATELIT
QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN MANGROVE DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA, JAWA
TENGAH
TUGAS
MAKALAH MATA KULIAHPENGINDERAAN JAUH
PENYUSUN:
MUQTAMAR
EFFENDI
13160033
JURUSAN
PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS
PERIKANAN
UNIVERSITAS
ABULYATAMA ACEH
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak
lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini ( Makalah APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DENGAN CITRA
SATELIT QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN MANGROVE DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN
JEPARA, JAWA TENGAH) dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah
agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman
kami, kami yakin masih terlalu banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena
itu kamu sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Banda Aceh, Juni
2016
( Muqtamar Effendi )
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Secara dimensional, sampai saat ini antariksa masih belum dapat diukur
oleh peralatann canggih maupun teknologi modern. Hal ini menunjukkan bahwa
semua yang ada di muka bumi ini masih memiliki keterbatasan. Pemanfaatan
satelit sebagai teknologi modern saat ini masih belum maksimal untuk mengatasi
permasalahan yang ada di muka bumi ini. Akan tetapi teknologi penginnderaan
jauh (remote sensinh) , telah mampu merubah paradigm visualisasi permukaan bumi kita dari fiksi
ilmiah menjadi bukti ilmiah. Hasil dan produk dari teknologi penginderaan jauh
memiliki manfaat yang sangat berguna dalam berbagai bidang yang berkaitan
dnegan manajemen pemanfaatan bumi dan permukaanya.
Sudah sejak lama foto udara digunakan untuk memotret perairan dangkal
yang jernih. Saat ini telah bayak dikembangkan foto udara untuk mendeteksi
kedalaman air dengan cara yang sama menggunakan citra satelit. Citra satelit
menggunakan sistem panjang gelombang dan kecerahan perairan untuk dapat mendeteksi
kedalaman kedalaman maksimum perairan. Produk dalam teknologi penginderaan jauh
yang sangat luar biasa saat ini adalah berupa citra satelit dengan resolusi
spaaial yang tinggi. Sehingga dapat memberikan data gambaran visual permukaan
bumi secara detail.
Menurut Sutanto (1994) dalam Hartono et al.,
(2013) ada beberapa alasan yang mendasari penggunaan citra penginderaan jauh
seperti foto udara untuk berbagai penelitian, diantaranya adalah: (a) letak dan
gambaran obyek dari citra satelit penginderaan jauh memiliki kenampakan yang
sama atau sangat mirip dengan aslinya di permukaan bumi, (b) ada beberapa jenis
citra satelit tertentu yang dapat digambarkan secara 3 dimensi melalui alat
steroskop, (c) karakteristik
obyek yang tidak tampak dapat diwujudkan dalam bentuk citra, sehingga
memungkinkan untuk pengenalan obyeknya, (d) citra dapat dibuat secara cepat
meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi secara terrestrial, (e) dapat
digunakna untuk pemetaan daerah bencana, dan (f) citra sering dibuat dengan periode
ulang dan pendek.
Setiap citra satelit yang dikembangkan memiliki kemampuan yang berbeda
sesuai dengan resolusinya masing-masing. Resolusi merupakan kemampuan sistem
optik-elektronik untuk dapat membedakan informasi yang berdekatan secara
spasial dan memiliki kemiripan secara spektral. Dalam bidang pemetaan memiliki
empat konsep penting meliputi resolusi spektral , resolusi radiometrik dan
resolusi temporal
Quickbird merupakan citra satelit buatan Amerika yang digunakan untuk
keperluan penginderaan jarak jauh yang berwujud gambaran secara visual mengenai
obyek diatas muka bumi. Gambaran ini meliputi bangunan gedung, jalan, sungai,
saluran, maupun vegetasi berupa hutan, ladang, sawah dan sebagainya sehingga
sering disebut foto satelit. Karena kemampuannya dalam merekam kenampakan
permukaan bumi, Citra Satelit Quickbird sering dimanfaatkan untuk keperluan
perencanaan prasarana fisik di kota maupun di daerah.
Bagian-bagian dari Citra Satelit
Quickbird
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Maha siswa dapat mengetahui apa yang
dimaksud penginderaan jauh
2. Mahasiswa mampu mengetahui
pemrosesan citra satelit Quickbird
3. Mahasiswa dapat mengetahui penyebaran
hutan mangrove.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Latar
Belakang
Indonesia
merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan memiliki
garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, yaitu diperkirakan
sepanjang 81.000 km (Dahuri, et al., 1996). Pada garis pantai sepanjang itu
terkandung potensi sumberdaya alam wilayah pesisir yang jumlahnya cukup besar.
Salah satu sumberdaya pesisir di Indonesia adalah ekosistem hutan mangrove.
Hutan mangrove memiliki berbagai fungsi ekologi, ekonomi dan sosial. Secara
ekologis hutan mangrove berfungsi sebagai feeding ground, spawning grounds, dan
nursery ground. Secara ekonomi hutan mangrove dapat dimanfaatkan kayunya untuk
bahan bangunan dan arang, dikembangkan untuk lahan pertambakan dan pertanian,
serta daerah ekowisata (eco-tourism). Luas hutan mangrove di seluruh Indonesia
diperkirakan sekitar 4,25 juta ha atau 3,98% dari seluruh hutan Indonesia
(Nontji, 1987). Pada tahun 1993 Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna
Hutan (INTAG) memperkirakan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia tinggal 3,73
juta ha. Taman Nasional Laut Karimunjawa merupakan kawasan konservasi yang
memiliki ekosistem mangrove. Meskipun Karimunjawa merupakan taman nasional
tetapi tetap terjadi kerusakan dan degdradasi hutan mangrove. Kerusakan hutan
mangrove ini diakibatkan oleh pembukaan lahan tambak dan pemanfaatan kayu hutan
mangrove oleh masyarakat setempat. Untuk mencegah dan menaggulangi kerusakan
hutan mangrove diperlukan inventarisasi tentang distribusi, luas dan kerapatan
magrove. Inventarisasi ini 2 berguna untuk pengelolaan dan penetapan kebijakan
pada ekosistem mangrove dan daerah pesisir. Dalam melakukan pemantauan dan
inventarisasi mangrove tidaklah mudah. Kesulitan pemetaan di lapangan merupakan
kendala kelangkaan data mangrove. Sebagai alternatifnya dikembangkan teknik
penginderaan jauh. Teknik ini memiliki jangkauan yang luas dan dapat memetakan
daerah-daerah yang sulit dijangkau dengan perjalanan darat. Salah satu data
penginderaan jauh yang dapat dimanfaatkan untuk memantau hutan mangrove adalah
citra Satelit QuickBird. Citra ini memiliki lebar sapuan 16,5 x 16,5 km 2
dengan resolusi spasial 2,44 m untuk sensor multispectral. Pengamatan hutan
mangrove dengan citra satelit meliputi distribusi, luasan, dan kerapatan
2.2 Penyebaran dan Luas Hutan Mangrove
Menurut
Nybakken (1988), komunitas hutan mangrove tersebar di seluruh hutan tropis dan
subtropis, mulai dari 25 0 Lintang Utara sampai 250 Lintang Selatan. Mangrove
mampu tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari 4 gerakan gelombang, bila
pantai dalam keadaan sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan
menjatuhkan akarnya. Tumbuhan ini dapat tumbuh dan berkembang pada daerah
pasang surut pantai berlumpur dan lingkungan yang anaerob. Mangrove juga dapat
tumbuh pada substrat pasir, batu atau karang yang terlindung dari gelombang,
karena itu mangrove banyak ditemukan pada pantai-pantai teluk, estuari, lagun
dan pantai terbuka yang berhadapan dengan terumbu karang yang memecah gelombang
datang. Luas hutan mangrove di seluruh wilayah Indonesia diperkirakan kurang
lebih 3,7 juta ha (Direktorat Bina Program, 1982 in Kusmana, 1995). Berdasarkan
studi yang dilakukan oleh FAO/UNDP (1982) in JICA (1998), total areal mangrove
di Indonesia adalah 4,25 juta ha. Menurut Nontji (1987) luas hutan mangrove di seluruh
Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta ha atau 3,98% dari seluruh luas hutan
Indonesia. Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang
termasuk tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis; 35 jenis berupa
pohon, dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), epifit (29
jenis) dan parasit (2 jenis) (Nontji, 1987). Paling tidak di dalam hutan
mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting atau dominan yang
termasuk dalam empat famili Rhizophoraceae, Sonneratiaceae, Avicenniaceae, dan
Meliaceae. Areal hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di Pesisir Timur
Sumatera, Pesisir Kalimantan dan Pesisir Selatan Irian Jaya. Hutan mangrove di
Jawa banyak yang telah mengalami kerusakan atau telah hilang sama sekali karena
aktivitas manusia. 5 Menurut Kusmana (1995) terjadinya proses pengurangan lahan
mangrove di beberapa propinsi disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini : 1.
Konversi hutan mangrove menjadi bentuk lahan penggunaan lain seperti pemukiman,
pertanian, industri, pertambangan dan lain-lain 2. Kegiatan eksploitasi hutan
yang tidak terkendali oleh perusahaanperusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
serta penebangan liar dan bentuk perambahan hutan lainnya 3. Polusi di perairan
estuaria, pantai dan lokasi-lokasi perairan lainnya tempat tumbuhnya mangrove
4. Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses abrasi atau sedimentasi
yang tidak terkendali.
2.3 Fungsi Hutan Mangrove
Menurut
Soegiarto (1982) manfaat hutan mangrove yang tidak langsung adalah :
1.
Sebagai pelindung
pantai
2.
Sebagai pengendali
banjir
3.
Sebagai pengendali
bahan pencemar, dan
4.
Sebagai sumber energi
atau bahan organik bagi lingkungan sekitarnya
Manfaat hutan mangrove secara langsung
adalah berupa kayu, bahan baku chips, pulp dan tanin. Mangrove juga memiliki
peranan sebagai daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makan (feeding
grounds) dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan ,udang dan
biota laut lainnya. Disamping itu mangrove juga dapat dijadikan tempat pariwisata.
2.4 Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Mangrove
Penginderaan
jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang
suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan
menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena
yang dikaji (Lillesand and Kiefer, 1990). Menurut Lo (1996), aplikasi baru dari
penginderaan jauh multispektral telah menitikberatkan pada estimasi jumlah dan
distribusi vegetasi. Estimasi didasarkan pada pantulan dari kanopi vegetasi.
Intensitas pantulan tergantung pada panjang gelombang yang digunakan dan tiga
komponen vegetasi, yaitu daun, substrat dan bayangan. Daun memantulkan lemah
pada panjang gelombang biru dan merah, namun memantulkan kuat pada panjang
gelombang inframerah dekat (Gambar 1). Daun memiliki karakteristik warna hijau,
dimana klorofil mengabsorbsi spektrum radiasi merah dan biru serta memantulkan
spektrum radiasi hijau.
Gambar
1. Sifat dan pantulan komponen vegetasi
Menurut
Susilo (2000) penginderaan jauh untuk vegetasi mangrove didasarkan atas dua
sifat penting yaitu bahwa mangrove mempunyai zat hijau daun (klorofil) dan
mangrove tumbuh di pesisir. Dua hal ini akan menjadi pertimbangan penting di
dalam mendeteksi mangrove melalui satelit. Sifat optik klorofil sangat khas
yaitu bahwa klorofil menyerap spektrum sinar merah dan memantulkan dengan kuat
spektrum inframerah.
Klorofil
fitoplankton yang berada di air laut dapat dibedakan dari klorofil mangrove
karena sifat air yang sangat menyerap spektrum inframerah. Tanah, pasir dan
batuan juga memantulkan infra merah tetapi bahan-bahan ini tidak menyerap
spektrum sinar merah sehingga tanah dan mangrove secara optik juga dapat
dibedakan.
Beberapa
aspek lingkungan mangrove yang dapat dipelajari dengan menggunakan penginderaan
jauh adalah spesies mangrove dan identifikasi zonasi, perubahan tata guna lahan
mangrove, keberadaan mangrove dan distribusinya, serta lingkungan fisik
mangrove (Hartono, 1994).
Chaudhury
(1985) manjelaskan bahwa informasi lebih lanjut yang dapat diperoleh dari
penginderaan jauh untuk studi ekosistem mangrove adalah :
1.
Identifikasi dan
kuantifikasi hutan mangrove
2.
Identifikasi dan
kenampakan zona (tipe-tipe vegetasi) di daerah mangrove
3.
Identifikasi keberadaan dan profil dataran
berlumpur
4.
Monitoring
proses-proses dinamis (akresi, erosi) di lingkungan mangrove
5.
Monitoring sedimentasi
laut lepas, ekspor bahan organik dan sistem aliran
6.
Identifikasi tipe-tipe
tanah 8
7.
Monitoring
karakteristik air (contoh : salinitas, turbiditas) di dearah mangrove
8.
Monitoring tata guna
lahan mangrove (contoh : akuakultur, kehutanan)
9.
Monitoring perubahan aktivitas penggunaan
lahan di daerah mangrove
2.5 Citra Satelit Quickbird
Quickbird
merupakan satelit penginderaan jauh yang diluncurkan pada tanggal 18 Oktober
2001 di California, U.S.A. Dan mulai memproduksi data pada bulan Mei 2002.
Satelit Quickbird ditempatkan pada ketinggian 450 km di atas permukaan bumi
dengan tipe orbit sun-synchronous dan misi pertama kali satelit ini adalah
menampilkan citra dijital resolusi tinggi untuk kebutuhan komersil yang berisi
informasi geografi seperti sumber daya alam, resolusi citra yang dihasilkan
sebesar 0.61 m untuk panchromatik dan 2.44 m untuk multispektral (R,G,B, NIR)
dengan cakupan area seluas 16.5 km x 16.5 km untuk single area.
Citra Quickbird dapat digunakan untuk berbagai aplikasi terutama dalam hal perolehan data yang memuat infrastruktur, sumber daya alam bahkan untuk keperluan pengelolaan tanah (manajemen dan pajak).
Citra Quickbird dapat digunakan untuk berbagai aplikasi terutama dalam hal perolehan data yang memuat infrastruktur, sumber daya alam bahkan untuk keperluan pengelolaan tanah (manajemen dan pajak).
2.6 Sejarah
DigitalGlobe didirikan pada tahun
1992 dengan nama WorldView Imaging
Corporation, yang kemudian berubah menjadiEarthwatch didirikan pertama kali pada tahun 1995, sebelum akhirnya berubah menjadi DigitalGlobe pada tahun 2002. Pada tahun 1993, Departemen.
Perdagangan Amerika Serikat memberikan DigitalGlobe ( kemudian WorldView ), lisensi pertama kaliyang memungkinkan perusahaan swasta untuk turut membangun
dan mengoperasikan sistem satelit untuk mengumpulkan citradigital resolusi tinggi bumi untuk kepentingan penjualan komersial.
Pada bulan Januari 1994, perusahaan ini
bergabung dengan the commercial remote
sensing efforts of Ball Aerospace (beroperasi di bawah naungan nama Earthwatch ). Ball membawa pengalaman teknologi dan optik yang sangat maju secara signifikan dalam pembuatan satelit dan bertanggung jawab sepenuhnya untuk
desain dan
konstruksi dari QuickBird satelit sub-meter. Selain Ball
Aerospace, DigitalGlobe menjalin kontrak kerjasama dengan Eastman Kodak Company dan Fokker Ruang BVuntuk desain, pengembangan dan pembuatan QuickBird.
Gambar
2. Pembuatan satelit quickbird
2.7 Pemrosesan data Citra Satelit
Citra
QuickBird diproses dengan menggunakan software ER Mapper 5.5 dan Arc View 3.1,
sedangkan analisis visual dilakukan berdasarkan hasil identifikasi objek.
Beberapa tahap yang akan dilakukan dalam pengolahan citra antara lain :
pemulihan citra, penajaman citra dan klasifikasi citra. Dari tahapan inilah
informasi mengenai kerapatan dan distribusi mangrove didapatkan.
Gambar
3. Pemrosesan data satelit
2.7.1 Pemulihan
Citra
Pemulihan citra
dilakukan dengan tujuan untuk memulihkan data citra yang mengalami distorsi ke
arah gambaran yang tidak sesuai dengan keadaan aslinya. Proses pemulihan citra
ini terdiri dari koreksi geometrik dan koreksi radiometrik.
Distorsi
geometrik terjadi karena adanya pergeseran piksel dari letak yang sebenarnya.
Distorsi tersebut disebabkan oleh kurang sempurnanya sistem kerja Scan
Deflection System dan ketidakstabilan sensor atau satelit, dimana untuk
mengatasinya dapat dilakukan dengan koreksi geometrik yang melalui dua tahap,
yaitu : transformasi koordinat dan resampling.
Transformasi
koordinat dilakukan dengan menggunakan Ground Control Point atau disebut juga
GCP. GCP (titik kontrol tanah) adalah suatu kenampakan geofrafis yang unik dan
stabil sifat geometrik dan radiometriknya serta lokasinya dapat diketahui
dengan tepat, misalnya : persimpangan jalan, sudut dari suatu bangunan ataupun
tambak dan sebagainya.
GCP
yang telah ditentukan ditempatkan pada citra dan pada peta topografi dengan
tingkat akurasi satu pixel. Penempatan GCP yang benar akan menghasilkan matriks
transformasi hubungan titik-titik pada citra dan sistem proyeksi yang terpilih.
Pada tahap ini titik persamaan pada citra (u,v) ditransformasikan ke dalam
koordinat peta (x,y) dengan menggunakan fungsi pemetaan (f dan g), seperti yang
dijelaskan pada persamaan dibawah ini :
u
= f (x,y)
v
= g (u,v)
Proses
penerapan alih ragam geometrik terhadap data asli disebut resampling. Dalam
melakukan resampling dapat dilakukan dengan tiga teknik, yaitu : nearest
neighbour, bilenier dan cubic convolution.
Pengaruh
atmosfer (penghamburan dan penyerapan), noise pada waktu transmisi data,
perubahan cahaya, radiasi dan buramnya bagian optik pada sistem pencitraan
dapat menyebabkan distorsi radiomertik. Koreksi radiometrik biasanya dilakukan
pada kanal visible (ë= 0,4 – 0,7 µm), sedangkan kanal inframerah (ë= > 0,7)
sebagian besar bebas dari pengaruhnya.
Koreksi radiometrik dilakukan dengan metode
penyesuaian histogram (histogram adjusment), yaitu dengan mengurangi nilai
kanal terdistorsi ke arah kiri sehingga nilai minimumnya menjadi nol.
2.7.2 Penajaman
Citra
Penajaman
citra digunakan untuk memperjelas penampakan objek yang terdapat pada citra
sehingga dapat diperoleh citra yang informatif. Tujuan dari penajaman citra
adalah untuk mempertajam interpretabilitas visual citra, baik untuk memperoleh
keindahan gambar atau untuk analisis citra.
Penajaman ini dilakukan
sebelum menampilkan citra dengan tujuan meningkatkan informasi yang dapat
diinterpretasi secara digital. Prosesnya melibatkan penajaman kontras yang
tampak pada wujud gambaran yang terekam pada citra, sehingga dapat memperbaiki
kenampakan citra dan meningkatkan perbedaan yang ada di antara objek yang ada
dalam citra.
Ada beberapa teknik yang
dapat digunakan dalam penajaman citra khususnya untuk kerapatan dan distribusi
mangrove. Salah satu tekniknya dengan False Colour Composit (FCC) yang
merupakan penajaman dengan menggabungkan tiga warna primer, yaitu merah (red),
hijau (green) dan biru (blue).
2.7.3 Klasifikasi
Citra
Klasifikasi bertujuan untuk
mengelompokan kenampakan yang homogen. Klasifikasi merupakan proses
pengelompokan piksel-piksel ke dalam suatu kelas 25 atau kategori berdasarkan
kesamaan nilai spektral tiap piksel. Nilai spektral merupakan gambaran sifat
dasar interaksi antara objek dengan spektrum yang bekerja.
Ada
dua proses klasifikasi, yaitu : klasifikasi terbimbing (supervised
classification) dan klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification).
Pada penelitian ini digunakan supervised classification karena didukung dengan
data lapangan.
Klasifikasi
terbimbing bertujuan mengelompokkan secara otomatis kategori semua nilai piksel
dalam citra menjadi beberapa kelas didasarkan pada daerah contoh (training
area). Daerah contoh pada citra didapatkan dari peta acuan, data sekunder dan
data lapangan. Pengkelasan piksel pada supervised classification didasarkan
pada kemiripan maksimum piksel dengan sekelompok piksel lainnya dalam citra.
Pengkelasan ini dikenal dengan metode kemiripan maksimum (maximum likelihood).
Dengan
metode maximum likelihood piksel yang belum diketahui identitasnya
dikelompokkan berdasar vektor dan matriks kovarian dari setiap pola spektral
kelas. Nilai peluang piksel yang belum teridentifikasi akan dihitung oleh
komputer dan dimasukkan ke dalam salah satu kelas yang peluangnya paling tinggi.
Dari
hasil klasifikasi dengan menggunakan supervised classification selanjutnya
dilakukan pengkelasan kembali atau pengkelasan ulang (reclass) dengan
berdasarkan pada peta dan data pendukung. Pengkelasan ulang ini bertujuan untuk
mendapatkan citra yang lebih informatif mengenai daerah.
2.8 Permodelan Citra Satelit Quickbird
Citra
Quickbird dikelola oleh Digital Globe yang merupakan citra digital hasil
penginderaan sensor satelit Quickbird. Satelit ini pertama kali dimunculkan
pada tanggal 18 Oktober 2001 di Pangkalan Angkatan Udara Vandenber, California,
sebagai satelit dengan resolusi spasial yang tinggi. Pada ketinggian 450 km
dari permukaan bumi, Citra Satelit Quickbird mengorbit bumi secara sun-synchronousdengan
sudut inklinasi sebesar 97,2°. Sistem lintas orbit pada Citra Satelit Quickbird
tergolong cepat dengan kecepatan 7,1 km/detik dan dapat mengorbit bumi selama
93,5 menit dalam sekali lintasan. Satelit Quickbird akan melintasi daerah
equator pada pukul sekitar 10.30 pagi dan dapat merekam seluruh daerah yang
dilintasinya secara tetap.
Gambar 4.
Spesifikasi dari Citra Satelit Quickbird
Citra
satelit Quickbird memiliki resolusi yang tinggi untuk kebutuhan komersil yang
dapat memberikan informasi geografi seperti potensi dan luasan sumberdaya alam.
Quickbird memiliki kemampuan untuk memperoleh data tutupan lahan atau kebutuhan
lain untuk keperluan GIS berdasarkan kemampuan Quickbird dalam menyimpan data
dalam ukuran besar dengan resolusi tertinggi dan medium-inclination, non-polar
orbit. Satelit ini mampu men-download citra dari stasiunthree
mid-latitude yaitu Jepang, Itali dan U.S (Colorado).
Citra
satelit Quickbird memiliki 11 bit per pixel (2048 gray scale) ,
sehingga citra satelit Quickbird dapat memberikan kualitas citra yang lebih
baik karena gradasi keabuan mengalami peningkatan 8 kali dibandingkan tipe 8
bit (256gray scale) pada beberapa satelit yang pernah diluncurkan
sebelumnya. Satelit Quickbird ini mengorbit bumi secara polar.
2.9 Citra Warna dari Satelit Quickbird
Sistem warna pada satelit Quickbird
memiliki lima pilihan produk. Produk warna yang dihasilkan oleh satelit
Quickbird ini meliputi : (a) hitam-putih (pankromatik) yang memiliki ketajaman
yang tinggi sehingga memungkinkan untuk dpat dianalisis secara visual, (b)
multispektral, meliputi panjang gelombang tampak dan inframerah
dekat sehingga sangat ideal untuk analisis multispektral , (c) bundle,
merupakan produk warna yang menghasilkan kombinasi dari hitam-putih dan
multispektral, (d) berwarna, mengkombinasikan informasi visual dari tiga
saluran (band) multispektral dengan informasi spaial dari saluran pankromatik,
dan (e) pan-sharpened (fusi), yang mengkombinasikan informasi
visual dari semua saluran (4 band) multispektral dengan informasi spasial dari
saluran pankromatik .
Citra
satelit Quickbird memiliki tingkatan pada produk yang dihasilkannya, yakni : basic,
standard, dan orthorectified. Pada tingkatan basic, citra
telah terkoreksi secara radiometric dari pengaruh gerakan sensor tetapi tidak
terkoreksi secara geometris ataupun terpetakan dalam ellipsoid dan proyeksi
kartografis. Citra basic hitam putih memiliki resolusi
sebesar 61 cm hingga 72 cm pada sudut 25° off-nadir. Resolusi
mencapai 1,14 m pada sudut nadir maksimum (45°). Sedangkan resolusi citra
multispektralnya berkisar pada 2,44 m (nadir) hingga 2,88 m (25° off-nadir)
dan mencapai 4,56 m pada 45° off-nadir. Pada format yang telah difusikan,
citra tingkatan basic tidak tersedia.
Pada
citra dengan tingkatan diatas basic atau lebih dikenal dengan
citra dengan tingkatan standard adalah citra yang telah terkoneksi secara
radiometris, terkoreksi terhadap gerkan sensor, terkoreksi geometris dan sudah
terpetakan dalam proyeksi kartografis. Citra dengan tingkatan standard telah
tersedia dalm format hitam-putih, berwarna, dan pan-sharpened dengan resolusi
60 cm hingga 70 cm atau multispektral dengan resolusi 2,4 meter atau 2,8 meter.
Pada citra tingkatan standard ini telah memiliki Digital Elevation Model (DEM)
yang secara luas telah teraplikasi. DEM berfungsi untuk menormalkan dari
pengaruh relief topografi dengan memperhatikan elipsoid referensi. Citra
Quickbird pada tingkatan ini memiliki akurasi geolokasi absolute rata-rata
sebesar 23 m pada tingkat kepercayaan 90 %, tidak termasuk pergeseran
topografis dan penglihatan di luar nadir (off-nadir viewing).
Citra
Quickbird orthorectifed merupakan tingkatan pada citra satelit
yang telah dikoreksi radiometric, sensor dan geometris, serta telah diproses
ortorektifikasi dan terpetakan pada datum dan proyeksi kartografis. Citra
dengan tingkatanorthorectified memiliki resolusi 60 cm – 70 cm pada
format hitam putih, berwaran dan fusi. Sedangkan pada format multipektral
memiliki resolusi 2,4 meter atau 2,8 meter. Untuk menghilangkan pengaruh
pergeseran relief dan untuk menempatkan piksel pada lokasi peta yang benar,
citra orthorectified membutuhkan DEM atau titik control bumi.
Citra orthorectified dapat digunakan untuk keperluan
pembentukan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan banyak digunakan sebagai peta
citra dasar untuk berbagai macam keperluan.
Gambar
5. Pewarnaan hasil dari citra
2.10 Sistem Penggerak Citra Satelit
Quickbird
Sistem
penggerak pada beberapa citra satelit dibedakan menjadi dua, yakni sistem
penggearak pasif dan sistem penggerak aktif. Citra satelit Quickbird termasuk
kedalam contoh citra satelit dengan sistem penggerak pasif karena memanfaatkan
energi matahari untuk penggeraknya. Sistem penginderaan pasif memanfaatkan
energi cahaya matahari yang dipantulkan benda-benda yang ada dipermukaan bumi.
Pantulan ini akan diterima sensor yang terdapat pada satelit. Sehingga
ada tiga komponen pada sistem penggerak pasif ini antara lain : (a)
energi cahaya matahari, (b) pemantulan cahaya matahari oleh benda-benda yang
ada dipermukaan bumi, dan (c) sensor satelit sebagai penerima pantulan cahaya
dari benda-benda di muka bumi. Tanpa adanya ketiga komponen ini maka sistem
penggerak pasif tidak akan berjalan. Oleh karenanya sistem penginderan jauh
dengan sistem penggerak pasif seperti ini hanya dapat bekerja pada siang siang
hari di bagian bumi yang mendapat pancaran matahari. Satelit-satelit dengan
sistem penggerak pasif dirancang untuk berada pada posisi yang selaras dengan
matahari (sub-synchronous) yang berarti satelit-satelit ini berada pada
sudut inklanasi sekitar 95-100 derajat terhadap ekuator kea rah kutub utara
bumi . hal ini bertujuan supaya satelit berada pada posisi yang terkena
pancaran cahaya matahari untuk memperoleh citra penginderaan yang maksimum.
Sistem penggerak pasif pada satelit ini bekerja dengan menggunakan
prinsip-prinsip optis sehingga sangat bergantung pada energi matahari.
Gambar 6.
Sistem control pada satelit dengan penggerak pasif
2.11 Kelebihan Citra Satelit
Quickbird
Ada
beberapa kelebihan yang dimiliki citra satelit Quickbird dibandingkan dengan
citra satelit yang lain. Kelebihan ini terletak pada beberapa pilihan produk
yang disesuaikan dengan kebutuhan pemakai dan resolusi spasialnya. Seperti
kemampuannya mendeteksi obyek dengan ukuran terkecil 0,61 cm. Sehingga obyek
seperti kendaraan akan tampak jelas bentuk dan
ukurannya dibandingkan dengan citra yang
memiliki resolusi spasial 1 m. kemampuaanya juga ditunjukkan dalam membedakan
fungsi bangunan seperti pemukiman pola teratur dengan kepadatan rendah,
pertokoam, mall, mesjid, pasar dan sebagainya dalam hal penggunaan lahan. Oleh
karenanya, citra satelit Quickbird banyak dimanfaatkan dalam berbagai tema
penelitian khususnya kajian yang memanfaatkan ruang seperti perencanaan kota,
penentuan niali jual obyek pajak, mendeteksi perubahan penggunaan dan penutupan
lahan, perencanaan jalan baru dan lain sebagainya.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Adapun kesimmpulan yang
dapat kita ambil dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Penginderaan
jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang
suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan
menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek
2. Citra
QuickBird diproses dengan menggunakan software ER Mapper 5.5 dan Arc View 3.1,
sedangkan analisis visual dilakukan berdasarkan hasil identifikasi objek.
3. Menurut
Nybakken (1988), komunitas hutan mangrove tersebar di seluruh hutan tropis dan
subtropis, mulai dari 25 0 Lintang Utara sampai 250 Lintang Selatan.
Daftar Pustaka
Balai
Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ). 2002. Inventarisasi dan Penyebaran Mangrove
di Taman Nasional Karimunjawa. BTNKJ. Semarang.
Balai
Taman Nasional Karimunjawa. 2004. Kawasan Taman Nasional Laut Karimunjawa.
Carolita,
I., I Made P., Y. Erowati, dan Asikin A. 1995. Monitoring Keadaan Hutan dengan
Menggunakan Data NOAA AVHRR di Daerah Kalimantan Barat dan Sebagian Kalimantan
Timur. Warta LAPAN volume 43 Hal 32-42. Jakarta.
Chaudhury,
M. U. 1985. LANDSAT : Application to Mangrove Ecosystem Studies. UNDP/ESCAP
Regional Remote Sensing Programme and SEAMEO-BIOTROP. Bogor. Hal 57-63.
Dahuri,
R., J. Rais, S. P. Ginting, dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dewanti,
R. 1999. Kondisi Hutan Mangrove di Kalimantan Timur, Sumatra, Jawa, Bali dan
Maluku. Majalah LAPAN edisi Penginderaan Jauh No.01 Vol. 01. LAPAN. Jakarta.
Dirgahayu,
D., M. Kusumowidagdo, E. D. Djaiz, dan I Made P. 1992. Metode Penentuan Potensi
Hutan dengan Menggunakan Data Satelit Penginderaan Jauh. (Prosiding Hasil-hasil
Penelitian Proyek Pemanfaatan Satelit Lingkungan dan Cuaca). Pusfatja-LAPAN.
Jakarta.Hal 16-25.
English,
S., C. Wilkinson dan V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources.
Australian Institut of Marine Science.
Fanani,
Z. 1992. Pengantar Interpretasi Data Penginderaan Jauh. Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Green,
E.P., P.J. Mumby, A.J. Edwards, dan C.D. Clark. 2000. Remote Sensing Handbook
for Tropical Coastal Management. Coastal Management Sourcebook 3, UNESCO.
Paris.
No comments:
Post a Comment